Senin, 26 Mei 2008

Perempuan dan Politik

MEMBANGUN PARTISIPASI POLITIK KAUM PEREMPUAN

(Refleksi Gerakan Perempuan Masa Kini)

Oleh : Nursuyata Haslindah, S.Hut.,MP

Anggota KPU Kota Bontang

Pengantar

Bicara soal peran perempuan dalam dunia politik, memang masih banyak yang men-TABU-kannya. Akan tetapi, jika hal ini tidak mampu untuk coba kita kikis dalam realitas social, maka perempuan hingga kapanpun akan terus menerus terkurung dalam belenggu kebebasannya sendiri. Seperti kata pepatah, “untuk merubah tradisi dan ke-TABU-an, cukup satu orang yang kita perlukan”. Merubah pencitraan perempuan yang selalu diidentikkan dengan manusia yang lemah, lugu, bodoh dan mudah dimanipulasi, cukup dengan memunculkan seorang perempuan yang memiliki sikap dan kepribadian terbalik dari semua itu. Beragam pendapat yang muncul atas fenomena ini, mulai dari pandangan budaya, sistem politik, bias gender, dominasi lak-laki, hingga persoalan agama, menjadi mengemuka dalam upaya mencari akar penyebab lemahnya peran perempuan dalam dunia politik. Untuk itu, penulis berusaha mengajak semua kalangan, khususnya kaum perempuan untuk terus membangun gerakan agar kaum perempuan mampu menciptakan sejarahnya sendiri.

Sekelumit Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia

Dalam fase perkembangan sejarah Indonesia, peran kaum perempuan sangat signifikan, bahkan dapat dikatakan bahwa, kaum perempuan memiliki andil yang sangat besar dalam menghantarkan kemerdekaan bangsa kita pada tahun 1945. Peranan kaum perempuan ini tercermin dari upaya individu maupun kelompok yang turut serta berjuang untuk meletakkan prinsip-prinsip dasar bagaimana seharusnya bangsa Indonesia bersikap dalam menghadapi penjajah kolonial pada masa pra-kemerdekaan. Diantara tokoh-tokoh pejuang perempuan yang kita kenal adalah, RA. Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Malahayati, dll. Mereka secara gigih berusaha untuk berjuang melepaskan rakyat Indonesia dari kebodohan, dengan merekonstruksi peran dan tanggung jawab sosial perempuan, terutama sikap terhadap kolonialisme ketika itu. Namun satu hal yang harus kita ingat, bahwa peran mereka tidaklah semata-mata hanya pada konteks nasionalisme saja, seperti yang selalu didongengkan di sekolah-sekolah. Akan tetapi, peran mereka juga termasuk memberikan bukti bahwa kaum perempuan juga memiliki ide, gagasan dan tindakan yang patut disejajarkan dengan kaum laki-laki.

Pasca kemerdekaan, kaum perempuan Indonesia semakin menunjukkan taringnya dengan keterlibatan langsung dalam dunia politik. Saat itu, kaum perempuan yang tidak hanya berbicara mengenai konteks kebijakan yang sangat membatasi peran perempuan dalam kehidupan sosial, akibat praktek kolonial dan feodalisme yang masih sangat kental. Akan tetapi kaum perempuan ketika itu, juga begitu lantang berbicara dalam tataran politik-kekuasaan, bahkan tak pernah luput dalam merespon situasi politik global, seperti penolakan perang, kemerdekaan Negara dunia ketiga, dll. Namun pada masa Orde Baru, gerakan perempuan mengalami kemunduran yang sangat drastis akibat upaya sistematis yang dilakukan oleh rezim. Stigma jelek dihembuskan sehingga memancing sensitifitas dari kaum agamawan yang masih sangat labil ketika itu. Mulai dari isu, kaum perempuan, khususnya GERWANI telah bertindak amoral, biadab dan tidak manusiawi dengan tudingan mereka telah menyiksa para jenderal saat tragedi GESTAPU. Pencitraan perempuan-pun berubah 180 derajat, dari yang dulunya terlihat sangat berani, lugas, disiplin dan sangat maju, menjadi wajah yang seakan-akan sangat menjijikkan dan patut untuk dihindari. Pemerintah orde baru-pun membuat pola secara sistemik untuk memberi citra baru bagi kaum perempuan yang ayu, lemah lembut, identik dengan kebaya dan sanggul, serta memiliki kewajiban mutlak untuk cakap melayani suami serta anak-anaknya.

Perempuan dan Kesetaraan Gender

Gender merupakan kajian tentang tingkah laku perempuan dan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Gender berbeda dari seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis. Ini disebabkan yang dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap sebagai feminim dalam budaya lain. Dengan kata lain, ciri maskulin atau feminim itu tergantung dari konteks sosial-budaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin (Sumber ; http://id.wikipedia.org/wiki/Gender). Jadi bisa kita simpulkan bahwa gender merupakan filosofi dasar bagaimana seorang perempuan memaknai peran dalam lingkungannya tanpa harus terbebani dengan mitos-mitos yang selama ini menjadi penghalang, seperti ; perempuan adalah manusia yang lemah, perempuan hanya memiliki tanggung jawab dalam lingkungan keluarga (domestic), dll. Harus kita sadari bahwa telah terjadi distorsi (pengaburan) makna gender selama ini. Hal tersebut berakibat kepada munculnya dogma (pemahaman tanpa kesadaran) dalam memaknai peran perempuan dalam dunia social dan politik. Untuk itu, diperlukan pemahaman akan peran dan tanggung jawab kaum perempuan yang sebenarnya dalam konteks social-politik. Pemahaman akan keadilan gender, harus senantiasa diberikan kepada kaum perempuan dimanapun berada. Perbedaan gender yang ditemukan di masyarakat seringkali berhubungan erat dengan ketidakadilan gender. Hal ini karena nilai gender perempuan yang berlaku umum di masyarakat selalu dianggap lebih rendah daripada laki-laki, misalnya perempuan dianggap memiliki sifat kurang rasional daripada laki-laki, sehingga anggapan umum adalah perempuan tidak cocok untuk pekerjaan tertentu, termasuk pekerjaan dalam urusan memimpin. Berikut ini beberapa point penting yang menjadi catatan ketidakadilan yang dialami perempuan karena adanya perbedaan gender :

Pertama, Marginalisasi perempuan. Marginalisasi perempuan artinya perempuan terpinggirkan untuk mendapatkan hak yang sama sebagai seorang manusia karena ia berjenis kelamin perempuan. Aturan-aturan sosial seringkali meminggirkan perempuan. Ketika seorang perempuan mencalonkan diri sebagai seorang pemimpin, maka ada tafsir agama yang melarang kepemimpinan perempuan. Lalu, pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci, memasak, meyapu dikategorikan sebagai pekerjaan untuk perempuan. Perempuan dimarginalkan untuk tidak mengerjakan pekerjaan di ruang publik.

Kedua, Subordinasi. Perempuan dianggap sebagai subordinasi laki-laki. Padahal telah kita ketahui bahwa yang membedakan laki-laki dan perempuan itu adalah karena kodrat biologis, dimana keduanya saling melengkapi untuk reproduksi tanpa adanya subordinasi. Subordinasi perempuan secara sosial adalah perempuan dianggap mempunyai kemampuan yang rendah daripada laki-laki ,sehingga wajar saja ketika di masyarakat yang terdapat ketimpangan gender, maka akan memilih anak laki-laki untuk melanjutkan sekolah daripada perempuan. Sungguh merupakan situasi yang semakin mendiskreditkan kaum perempuan.

Ketiga, Stereotipe. Stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Perempuan dilabelkan sebagai seseorang yang suka bersolek diri dengan tujuan menarik perhatian laki-laki. Hal tersebut membuat kasus pemerkosaan ataupun pelacuran, menjadikan perempuan sebagai yang biang permasalahan, malah bukan sebagai korban. Pada kasus pemerkosaan seorang pembantu rumah tangga oleh majikannya, akan mengakibatkan stereotip masyarakat lebih dulu menilai pembantu rumah tangga yang mungkin telah bersikap menggoda si majikannya, padahal bukankah korban pemerkosaan adalah pembantu tersebut. Dalam razia pelacuran, polisi seringkali menangkap perempuan PSK (pekerja seks komersil), daripada para klien laki-laki hidung belang. PSK dianggap lebih bersalah daripada klien laki-lakinya. Stereotip inilah yang harus kita singkirkan jauh-jauh dari pemahaman masyarakat.

Keempat, Beban kerja. Kenapa perempuan yang bekerja juga diharuskan menanggung beban kerja rumah tangga? Bukankah rumah tangga terdiri dari suami dan istri. Jika suami dan istrinya juga bekerja, maka pekerjaan rumah tangga haruslah dibagi adil. Tidak sepenuhnya pekerjaan rumah tangga dikerjakan oleh perempuan hanya karena pandangan masyarakat yang mengatakan pekerjaan wajib perempuan yaitu menyapu, mencuci, memasak,dll. Bukankah laki-laki juga dapat mngerjakan hal tersebut?.

Budaya Patriarki ; Benalu Kaum Perempuan

Salah satu bias gender adalah budaya (culture), dimana selama ini yang menjadi hambatan terjadinya liberalisasi politik yang membuka jalan bagi kaum perempuan agar lebih partisipatif dalam dunia politik, adalah budaya patriarki. Selama ini, banyak kalangan yang memberikan asumsi-asumsi negative terhadap peranan perempuan dalam kehidupan social, ekonomi dan politik. Asumsi yang paling tajam muncul dari kalangan ortodoks, yang secara terang-terangan mengkritik keberadaan agama sebagai salah satu pemhambat kemajuan perempuan. Misalnya Islam, yang dianggap banyak mengebiri peran kaum perempuan. Perempuan diibaratkan pelengkap bagi kaum hawa, dengan pencitraaan seperti ; perempuan lahir dari tulang rusuk adam, perempuan harus menuruti suami, kaum laki-laki saja yang dibai’at sebagai imam pada saat menjalankan ritual ibadah sholat, dll. Bukankah ini menjadi pemantik opini yang menyuburkan ketertindasan perempuan???. Begitu pula dengan agama Katolik dan protestan, yang menyebut Tuhan mereka sebagai manusia yang berjenis kelamin laki-laki (Dalam konteks bahasa Inggris, Tuhan selalu dipanggil dengan sebutan “He”, yang berarti kata ganti laki-laki). Bahkan dalam konteks budaya, masih banyak praktek yang tidak menghargai peran kaum perempuan yang patut dihargai. Di Papua misalnya, masih dikenal tradisi yang disebut dengan, “Budaya Om”, yakni sebuah budaya yang menjadikan perempuan sebagai benda pemberian ketika saudara laki-laki ayahnya menikah. Bukankah ini sebuah realitas yang begitu jelek terhadap pencitraan kaum perempuan, yang selalu berada dalam baying-bayang kaum laki-laki?. Dalam Al Qur’an diakatakan secara tegas, bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki sebenarnya seimbang atau dalam arti kata, memiliki hak dan tanggung jawab yang proporsional. Hal ini disebutkan dalam ayat-ayat berkut ini; “Dan bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan”. (Qs. an-Nisaa [4]: 32), dan di Surat yang lain juga dikatakan bahwa, “Sesungguhnya, laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. (Qs. al-Ahzab [33]: 35). Dari gambaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sungguh merupakan kesalahan terbesar jika agama dan keyakinan (atau sering kita istilahlah dengan “skriptualisme”), dijadikan sebagai legitimasi untuk membatasi peran dan hak kaum perempuan. Justru, agama dan keyakinan memiliki pemaknaan yang jauh lebih menghargai kaum perempuan, jika mampu kita tafsirkan dengan baik. Perempuan dan laki-laki sesungguhnya memiliki derajat dan kedudukan yang sama di depan Tuhan.

Presentase Keterwakilan Politik Yang Lemah

Presentase jumlah kaum perempuan yang duduk dalam struktur politik pemerintahan, memang bukanlah patokan satu-satunya dalam mengukur sejauh mana perkembangan dan kemajuan gerakan perempuan selama ini. Akan tetapi, hal ini dapat dijadikan salah satu indicator kemajuan kaum perempuan yang memiliki kepekaan untuk berjuang melalui jalur politik. Hasil pemilu legislatif pada tahun 2004 yang lalu, menunjukkan bahwa dari 550 kursi DPR-RI, sebanyak 61 kursi diisi oleh perempuan atau sekitar 11 persen saja. Dan untuk DPD, perempuan memiki 27 dari 155 kursi yang berarti hanya 21 persen saja. Sementara yang kita ketahui, pemilu 2004 yang lalu tersebut, telah menggunakan sistem proporsional terbuka yang disertai dengan nama dan foto calon. Artinya, pemilih seharusnya dapat mengetahui apakah calonnya perempuan atau laki-laki. Mengapa kaum perempuan masih enggan memilih kaumnya sendiri?. Yang pasti, minimnya keterwakilan kaum perempuan dalam pemilu 2004 yang lalu, bukanlah disebabkan oleh sedikitnya jumlah pemilih perempuan. Sebab, berdasarkan data yang dirilis oleh KPU pada saat pemilu 2004 yang lalu, jumlah pemilih perempuan yang memberikan hak pilihnya cukup signifikan dibanding laki-laki, yakni ; sekitar 61 juta (51 persen), berbanding 58, 7 juta (49 %).

TABEL

Prsentase Jumlah Suara Perempuan dan Laki-laki dalam pemilihan umum

Periode Pemilihan

Perempuan

Presentase

Laki-Laki

Presentase

1950-1955 (DPR Sementara)

9

3,8 %

236

96,2 %

1955-1960

17

6,3 %

272

93,7 %

Konstituante 1956-1959

25

5,1 %

488

94,9 %

1971-1977 (DPR-RI)

36

7,8 %

460

92,2 %

1977-1982

29

6,3 %

460

93,7 %

1982-1987

39

8,5 %

460

91,5 %

1987-1992

65

13 %

500

87,5 %

1992-1997

62

12,5 %

500

87,5 %

1997-1999

54

10,8 %

500

89,2 %

1999-2004

46

9 %

454

91 %

2004-2009 (DPR-RI)

61

11,1 %

489

89,9 %

2004-2009 (DPD)

27

21 %

128

79% %

Sumber : Penelitian Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) Samarinda

Lantas, apa yang harus dilakukan oleh wakil-wakil perempuan yang duduk di dalam parlemen?. Tidaklah cukup dengan presentase keterwakilan yang tinggi, akan tetapi kaum perempuan harus berjuang segenap tenaga untuk sedapat mungkin mengarahkan segala bentuk regulasi (kebijakan), dapat berpihak kepada nasib dan kepentingan kaum perempuan, bukan sebaliknya. Ada beberapa hal yang harus dilakukan, yakni ;

Pertama, menciptakan kemandirian politik yang konsisten, tanpa terikat dan terpengaruh dalam baying-bayang kaum laki-laki. Selama ini kaum perempuan selalu terkesan ikut-ikutan atau menjadi pengikut setia (followers) bagi kaum laki-laki, untuk itu, sudah saatnya kaum perempuan membangun identitasnya sendiri yang memiliki hak dan derajat yang sama dengan laki-laki.

Kedua, seorang politisi perempuan harus senantiasa berupaya menjalin komunikasi politik yang baik dengan siapapun, terutama dari kalangan akademisi serta kelompok-kelompok yang giat mengkaji persoalan-persoalan perempuan dan korelasinya dengan keadilan gender. Tujuannya adalah, untuk menigkatkan pemahaman dan pengetahuan sehingga dalam pengambilan sikap pada tingkatan institusi, kaum perempuan tidaklah salah arah. Kaum perempuan akan lebih mampu untuk melihat dan menganalisa sebuah kebijakan yang akan diterapkan, apakah berpihak pada kaumnya atau tidak. Dengan demikian, kaum perempuan dapat lebih bersikap arif dan bijaksana pada setiap pengambilan keputusan, terkhusus untuk keputusan yang menyangkut nasib dan masa depan kaum perempuan Indonesia.

Gerakan Moral vs Gerakan Politik

Jika ingin berbuat lebih dari sekedar mengeluh dan mengeluh, maka kaum perempuan harus menempatkan diri dalam konteks ekonomi-politik Negara kita hari ini. Gerakan perempuan harus ditempatkan lebih dari sekedar gerakan moral yang sifatnya hanya menyentuh kulit persoalan saja. Namun gerekan perempuan harus mulai berani tampil dalam panggung politik, murni sebagai gerakan politik-kekuasaan yang memiliki kehendak yang sama layaknya kaum laki-laki. Landasan utamanya adalah, ketertindasan kaum perempuan hari ini, juga disebabkan oleh pola penerapan kebijakan Negara yang tidak memihak kepada kaum perempuan. Coba kita tengok, jika harga-harga kebutuhan pokok semakin melambung tinggi, siapa yang dirugikan?, jika biaya sekolah dan kesehatan naik, siapa yang paling stress emnghadapinya?, jika praktek upah murah tetap dilakukan, siapa yang paling terkena imbasnya?, semuanya cuma satu jawaban, yakni ; PEREMPUAN.

Kaum perempuan seharunya memiliki kesadaran, bahwa segala persoalan yang tengah dihadapinya hanya bisa diselesaikan melalui gerakan politik. Melalui gerakan politiklah, maka segala kebijakan yang bersentuhan dengan masalah publik (baca: perempuan) dapat dibuat secara proporsional. Perempuan harus turut serta dalam setiap pengambilan kebijakan yang secara implisit bermakna, perempuan harus merubah tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui partisipasi dalam pembuatan kebijakan publik. Ada 3 (tiga) hal yang harus dilakukan kaum perempuan dalam upaya membangun partisipasi dlam konteks politik hari ini, yakni ; Pertama, kaum perempuan harus mampu mengorganisir diri mereka dalam wadah-wadah perjuangan, agar kelak dapat difungsikan sebagai alat penekan bagi siapapun yang membatasi ruang partisipasi kaum perempuan, termasuk pemerintah sendiri.

Kedua, kaum perempuan harus memahami bahwa prsoalan perempuan merupakan persoalan yang integral dengan kebijakan ekonomi dan politik, baik nasional maupun internasional. Untuk itu, diperlukan solidaritas perempuan secara internasional terutama kaum perempuan di Negara-negara dunia ketika yang memiliki persamaan nasib.

Ketiga, kaum perempuan harus memiliki musuh bersama, sebagai factor pemersatu sesame kaumnya. Hari ini, musuh sejati kaum perempuan adalah, “diri mereka sendiri yang dipenuhi dengan keraguan, ketakutan dan rasa tidak percaya diri yang sangat besar”. Untuk itu, kaum perempuan harus mampu mengatasi hal tersebut jika betuk-betul ingin memrdekakan kaumnya. Dengan cara inilah perempuan dapat menemukan kembali peran dan tanggung jawabnya untuk membebaskan kaumnya dari segala belenggu penindasan yang dialaminya.



DAFTAR TAMBAHAN

v Dasar Hukum (Aturan) pemberdayaan perempuan Indonesia :

ü UUD 1945 Pasal 28

ü UU No. 68 tahun 1956 ratifikasi Convention on the Political Rights of Women atau Konvensi PBB tentang Hak Politik Perempuan

ü UU No.7 tahun 1984 tentang (Ratifikasi CEDAW Convention ) CEDAW: Convention on Elimination All Forms of Discrimination Against Women/Konvensi Penghapusan Ssegala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan

ü UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

ü UU No.39 tahun 2004 Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja di Luar Negeri

ü UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan

ü Kepres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarus Utamaan Gender (Gender Mainstreaming) dalam segala kebijakan pemerintah

ü Kepres No. Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan

ü UU Pemilu No.32/2003 pasal 65 (1) saran mencalonkan perempuan 30% caleg partai

ü UU No.32 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

ü UU No. Perlindungan Saksi

ü UU No.12 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

ü UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang memberikan kesempatan keterwakilan 30% perempuan dalam anggota KPU di setiap tingkatan

ü UU No.2 tahun 2008 Pasal 20 Tentang Partai Politik yang mensyaratkan kepengurusan parpol paling rendah 30% keterwakilan perempuan ditingkat prov dan kab/kota

ü UU No.10 tahun 2008 Pasal 53 tentang Pemilu yangmemberikan kesempatan 30% keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon parpol

v Landasan Konsensus Internasional :

ü United Nation Convention on Politic Rights of Women, 1952.

ü United Nation Women Convention 1975 Nairobi.

ü CEDAW Convention.

ü Resolusi PBB No. 1355 tentang Kekerasan Perempuan dalam Perang.

ü Beijing Platform for Action, 12 Area Concerns.

Perempuan dan Politik

MEMBANGUN PARTISIPASI POLITIK KAUM PEREMPUAN

(Refleksi Gerakan Perempuan Masa Kini)

Oleh : Nursuyata Haslindah, S.Hut.,MP

Anggota KPU Kota Bontang

Pengantar

Bicara soal peran perempuan dalam dunia politik, memang masih banyak yang men-TABU-kannya. Akan tetapi, jika hal ini tidak mampu untuk coba kita kikis dalam realitas social, maka perempuan hingga kapanpun akan terus menerus terkurung dalam belenggu kebebasannya sendiri. Seperti kata pepatah, “untuk merubah tradisi dan ke-TABU-an, cukup satu orang yang kita perlukan”. Merubah pencitraan perempuan yang selalu diidentikkan dengan manusia yang lemah, lugu, bodoh dan mudah dimanipulasi, cukup dengan memunculkan seorang perempuan yang memiliki sikap dan kepribadian terbalik dari semua itu. Beragam pendapat yang muncul atas fenomena ini, mulai dari pandangan budaya, sistem politik, bias gender, dominasi lak-laki, hingga persoalan agama, menjadi mengemuka dalam upaya mencari akar penyebab lemahnya peran perempuan dalam dunia politik. Untuk itu, penulis berusaha mengajak semua kalangan, khususnya kaum perempuan untuk terus membangun gerakan agar kaum perempuan mampu menciptakan sejarahnya sendiri.

Sekelumit Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia

Dalam fase perkembangan sejarah Indonesia, peran kaum perempuan sangat signifikan, bahkan dapat dikatakan bahwa, kaum perempuan memiliki andil yang sangat besar dalam menghantarkan kemerdekaan bangsa kita pada tahun 1945. Peranan kaum perempuan ini tercermin dari upaya individu maupun kelompok yang turut serta berjuang untuk meletakkan prinsip-prinsip dasar bagaimana seharusnya bangsa Indonesia bersikap dalam menghadapi penjajah kolonial pada masa pra-kemerdekaan. Diantara tokoh-tokoh pejuang perempuan yang kita kenal adalah, RA. Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Malahayati, dll. Mereka secara gigih berusaha untuk berjuang melepaskan rakyat Indonesia dari kebodohan, dengan merekonstruksi peran dan tanggung jawab sosial perempuan, terutama sikap terhadap kolonialisme ketika itu. Namun satu hal yang harus kita ingat, bahwa peran mereka tidaklah semata-mata hanya pada konteks nasionalisme saja, seperti yang selalu didongengkan di sekolah-sekolah. Akan tetapi, peran mereka juga termasuk memberikan bukti bahwa kaum perempuan juga memiliki ide, gagasan dan tindakan yang patut disejajarkan dengan kaum laki-laki.

Pasca kemerdekaan, kaum perempuan Indonesia semakin menunjukkan taringnya dengan keterlibatan langsung dalam dunia politik. Saat itu, kaum perempuan yang tidak hanya berbicara mengenai konteks kebijakan yang sangat membatasi peran perempuan dalam kehidupan sosial, akibat praktek kolonial dan feodalisme yang masih sangat kental. Akan tetapi kaum perempuan ketika itu, juga begitu lantang berbicara dalam tataran politik-kekuasaan, bahkan tak pernah luput dalam merespon situasi politik global, seperti penolakan perang, kemerdekaan Negara dunia ketiga, dll. Namun pada masa Orde Baru, gerakan perempuan mengalami kemunduran yang sangat drastis akibat upaya sistematis yang dilakukan oleh rezim. Stigma jelek dihembuskan sehingga memancing sensitifitas dari kaum agamawan yang masih sangat labil ketika itu. Mulai dari isu, kaum perempuan, khususnya GERWANI telah bertindak amoral, biadab dan tidak manusiawi dengan tudingan mereka telah menyiksa para jenderal saat tragedi GESTAPU. Pencitraan perempuan-pun berubah 180 derajat, dari yang dulunya terlihat sangat berani, lugas, disiplin dan sangat maju, menjadi wajah yang seakan-akan sangat menjijikkan dan patut untuk dihindari. Pemerintah orde baru-pun membuat pola secara sistemik untuk memberi citra baru bagi kaum perempuan yang ayu, lemah lembut, identik dengan kebaya dan sanggul, serta memiliki kewajiban mutlak untuk cakap melayani suami serta anak-anaknya.

Perempuan dan Kesetaraan Gender

Gender merupakan kajian tentang tingkah laku perempuan dan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Gender berbeda dari seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis. Ini disebabkan yang dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap sebagai feminim dalam budaya lain. Dengan kata lain, ciri maskulin atau feminim itu tergantung dari konteks sosial-budaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin (Sumber ; http://id.wikipedia.org/wiki/Gender). Jadi bisa kita simpulkan bahwa gender merupakan filosofi dasar bagaimana seorang perempuan memaknai peran dalam lingkungannya tanpa harus terbebani dengan mitos-mitos yang selama ini menjadi penghalang, seperti ; perempuan adalah manusia yang lemah, perempuan hanya memiliki tanggung jawab dalam lingkungan keluarga (domestic), dll. Harus kita sadari bahwa telah terjadi distorsi (pengaburan) makna gender selama ini. Hal tersebut berakibat kepada munculnya dogma (pemahaman tanpa kesadaran) dalam memaknai peran perempuan dalam dunia social dan politik. Untuk itu, diperlukan pemahaman akan peran dan tanggung jawab kaum perempuan yang sebenarnya dalam konteks social-politik. Pemahaman akan keadilan gender, harus senantiasa diberikan kepada kaum perempuan dimanapun berada. Perbedaan gender yang ditemukan di masyarakat seringkali berhubungan erat dengan ketidakadilan gender. Hal ini karena nilai gender perempuan yang berlaku umum di masyarakat selalu dianggap lebih rendah daripada laki-laki, misalnya perempuan dianggap memiliki sifat kurang rasional daripada laki-laki, sehingga anggapan umum adalah perempuan tidak cocok untuk pekerjaan tertentu, termasuk pekerjaan dalam urusan memimpin. Berikut ini beberapa point penting yang menjadi catatan ketidakadilan yang dialami perempuan karena adanya perbedaan gender :

Pertama, Marginalisasi perempuan. Marginalisasi perempuan artinya perempuan terpinggirkan untuk mendapatkan hak yang sama sebagai seorang manusia karena ia berjenis kelamin perempuan. Aturan-aturan sosial seringkali meminggirkan perempuan. Ketika seorang perempuan mencalonkan diri sebagai seorang pemimpin, maka ada tafsir agama yang melarang kepemimpinan perempuan. Lalu, pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci, memasak, meyapu dikategorikan sebagai pekerjaan untuk perempuan. Perempuan dimarginalkan untuk tidak mengerjakan pekerjaan di ruang publik.

Kedua, Subordinasi. Perempuan dianggap sebagai subordinasi laki-laki. Padahal telah kita ketahui bahwa yang membedakan laki-laki dan perempuan itu adalah karena kodrat biologis, dimana keduanya saling melengkapi untuk reproduksi tanpa adanya subordinasi. Subordinasi perempuan secara sosial adalah perempuan dianggap mempunyai kemampuan yang rendah daripada laki-laki ,sehingga wajar saja ketika di masyarakat yang terdapat ketimpangan gender, maka akan memilih anak laki-laki untuk melanjutkan sekolah daripada perempuan. Sungguh merupakan situasi yang semakin mendiskreditkan kaum perempuan.

Ketiga, Stereotipe. Stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Perempuan dilabelkan sebagai seseorang yang suka bersolek diri dengan tujuan menarik perhatian laki-laki. Hal tersebut membuat kasus pemerkosaan ataupun pelacuran, menjadikan perempuan sebagai yang biang permasalahan, malah bukan sebagai korban. Pada kasus pemerkosaan seorang pembantu rumah tangga oleh majikannya, akan mengakibatkan stereotip masyarakat lebih dulu menilai pembantu rumah tangga yang mungkin telah bersikap menggoda si majikannya, padahal bukankah korban pemerkosaan adalah pembantu tersebut. Dalam razia pelacuran, polisi seringkali menangkap perempuan PSK (pekerja seks komersil), daripada para klien laki-laki hidung belang. PSK dianggap lebih bersalah daripada klien laki-lakinya. Stereotip inilah yang harus kita singkirkan jauh-jauh dari pemahaman masyarakat.

Keempat, Beban kerja. Kenapa perempuan yang bekerja juga diharuskan menanggung beban kerja rumah tangga? Bukankah rumah tangga terdiri dari suami dan istri. Jika suami dan istrinya juga bekerja, maka pekerjaan rumah tangga haruslah dibagi adil. Tidak sepenuhnya pekerjaan rumah tangga dikerjakan oleh perempuan hanya karena pandangan masyarakat yang mengatakan pekerjaan wajib perempuan yaitu menyapu, mencuci, memasak,dll. Bukankah laki-laki juga dapat mngerjakan hal tersebut?.

Budaya Patriarki ; Benalu Kaum Perempuan

Salah satu bias gender adalah budaya (culture), dimana selama ini yang menjadi hambatan terjadinya liberalisasi politik yang membuka jalan bagi kaum perempuan agar lebih partisipatif dalam dunia politik, adalah budaya patriarki. Selama ini, banyak kalangan yang memberikan asumsi-asumsi negative terhadap peranan perempuan dalam kehidupan social, ekonomi dan politik. Asumsi yang paling tajam muncul dari kalangan ortodoks, yang secara terang-terangan mengkritik keberadaan agama sebagai salah satu pemhambat kemajuan perempuan. Misalnya Islam, yang dianggap banyak mengebiri peran kaum perempuan. Perempuan diibaratkan pelengkap bagi kaum hawa, dengan pencitraaan seperti ; perempuan lahir dari tulang rusuk adam, perempuan harus menuruti suami, kaum laki-laki saja yang dibai’at sebagai imam pada saat menjalankan ritual ibadah sholat, dll. Bukankah ini menjadi pemantik opini yang menyuburkan ketertindasan perempuan???. Begitu pula dengan agama Katolik dan protestan, yang menyebut Tuhan mereka sebagai manusia yang berjenis kelamin laki-laki (Dalam konteks bahasa Inggris, Tuhan selalu dipanggil dengan sebutan “He”, yang berarti kata ganti laki-laki). Bahkan dalam konteks budaya, masih banyak praktek yang tidak menghargai peran kaum perempuan yang patut dihargai. Di Papua misalnya, masih dikenal tradisi yang disebut dengan, “Budaya Om”, yakni sebuah budaya yang menjadikan perempuan sebagai benda pemberian ketika saudara laki-laki ayahnya menikah. Bukankah ini sebuah realitas yang begitu jelek terhadap pencitraan kaum perempuan, yang selalu berada dalam baying-bayang kaum laki-laki?. Dalam Al Qur’an diakatakan secara tegas, bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki sebenarnya seimbang atau dalam arti kata, memiliki hak dan tanggung jawab yang proporsional. Hal ini disebutkan dalam ayat-ayat berkut ini; “Dan bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan”. (Qs. an-Nisaa [4]: 32), dan di Surat yang lain juga dikatakan bahwa, “Sesungguhnya, laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. (Qs. al-Ahzab [33]: 35). Dari gambaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sungguh merupakan kesalahan terbesar jika agama dan keyakinan (atau sering kita istilahlah dengan “skriptualisme”), dijadikan sebagai legitimasi untuk membatasi peran dan hak kaum perempuan. Justru, agama dan keyakinan memiliki pemaknaan yang jauh lebih menghargai kaum perempuan, jika mampu kita tafsirkan dengan baik. Perempuan dan laki-laki sesungguhnya memiliki derajat dan kedudukan yang sama di depan Tuhan.

Presentase Keterwakilan Politik Yang Lemah

Presentase jumlah kaum perempuan yang duduk dalam struktur politik pemerintahan, memang bukanlah patokan satu-satunya dalam mengukur sejauh mana perkembangan dan kemajuan gerakan perempuan selama ini. Akan tetapi, hal ini dapat dijadikan salah satu indicator kemajuan kaum perempuan yang memiliki kepekaan untuk berjuang melalui jalur politik. Hasil pemilu legislatif pada tahun 2004 yang lalu, menunjukkan bahwa dari 550 kursi DPR-RI, sebanyak 61 kursi diisi oleh perempuan atau sekitar 11 persen saja. Dan untuk DPD, perempuan memiki 27 dari 155 kursi yang berarti hanya 21 persen saja. Sementara yang kita ketahui, pemilu 2004 yang lalu tersebut, telah menggunakan sistem proporsional terbuka yang disertai dengan nama dan foto calon. Artinya, pemilih seharusnya dapat mengetahui apakah calonnya perempuan atau laki-laki. Mengapa kaum perempuan masih enggan memilih kaumnya sendiri?. Yang pasti, minimnya keterwakilan kaum perempuan dalam pemilu 2004 yang lalu, bukanlah disebabkan oleh sedikitnya jumlah pemilih perempuan. Sebab, berdasarkan data yang dirilis oleh KPU pada saat pemilu 2004 yang lalu, jumlah pemilih perempuan yang memberikan hak pilihnya cukup signifikan dibanding laki-laki, yakni ; sekitar 61 juta (51 persen), berbanding 58, 7 juta (49 %).

TABEL

Prsentase Jumlah Suara Perempuan dan Laki-laki dalam pemilihan umum

Periode Pemilihan

Perempuan

Presentase

Laki-Laki

Presentase

1950-1955 (DPR Sementara)

9

3,8 %

236

96,2 %

1955-1960

17

6,3 %

272

93,7 %

Konstituante 1956-1959

25

5,1 %

488

94,9 %

1971-1977 (DPR-RI)

36

7,8 %

460

92,2 %

1977-1982

29

6,3 %

460

93,7 %

1982-1987

39

8,5 %

460

91,5 %

1987-1992

65

13 %

500

87,5 %

1992-1997

62

12,5 %

500

87,5 %

1997-1999

54

10,8 %

500

89,2 %

1999-2004

46

9 %

454

91 %

2004-2009 (DPR-RI)

61

11,1 %

489

89,9 %

2004-2009 (DPD)

27

21 %

128

79% %

Sumber : Penelitian Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) Samarinda

Lantas, apa yang harus dilakukan oleh wakil-wakil perempuan yang duduk di dalam parlemen?. Tidaklah cukup dengan presentase keterwakilan yang tinggi, akan tetapi kaum perempuan harus berjuang segenap tenaga untuk sedapat mungkin mengarahkan segala bentuk regulasi (kebijakan), dapat berpihak kepada nasib dan kepentingan kaum perempuan, bukan sebaliknya. Ada beberapa hal yang harus dilakukan, yakni ;

Pertama, menciptakan kemandirian politik yang konsisten, tanpa terikat dan terpengaruh dalam baying-bayang kaum laki-laki. Selama ini kaum perempuan selalu terkesan ikut-ikutan atau menjadi pengikut setia (followers) bagi kaum laki-laki, untuk itu, sudah saatnya kaum perempuan membangun identitasnya sendiri yang memiliki hak dan derajat yang sama dengan laki-laki.

Kedua, seorang politisi perempuan harus senantiasa berupaya menjalin komunikasi politik yang baik dengan siapapun, terutama dari kalangan akademisi serta kelompok-kelompok yang giat mengkaji persoalan-persoalan perempuan dan korelasinya dengan keadilan gender. Tujuannya adalah, untuk menigkatkan pemahaman dan pengetahuan sehingga dalam pengambilan sikap pada tingkatan institusi, kaum perempuan tidaklah salah arah. Kaum perempuan akan lebih mampu untuk melihat dan menganalisa sebuah kebijakan yang akan diterapkan, apakah berpihak pada kaumnya atau tidak. Dengan demikian, kaum perempuan dapat lebih bersikap arif dan bijaksana pada setiap pengambilan keputusan, terkhusus untuk keputusan yang menyangkut nasib dan masa depan kaum perempuan Indonesia.

Gerakan Moral vs Gerakan Politik

Jika ingin berbuat lebih dari sekedar mengeluh dan mengeluh, maka kaum perempuan harus menempatkan diri dalam konteks ekonomi-politik Negara kita hari ini. Gerakan perempuan harus ditempatkan lebih dari sekedar gerakan moral yang sifatnya hanya menyentuh kulit persoalan saja. Namun gerekan perempuan harus mulai berani tampil dalam panggung politik, murni sebagai gerakan politik-kekuasaan yang memiliki kehendak yang sama layaknya kaum laki-laki. Landasan utamanya adalah, ketertindasan kaum perempuan hari ini, juga disebabkan oleh pola penerapan kebijakan Negara yang tidak memihak kepada kaum perempuan. Coba kita tengok, jika harga-harga kebutuhan pokok semakin melambung tinggi, siapa yang dirugikan?, jika biaya sekolah dan kesehatan naik, siapa yang paling stress emnghadapinya?, jika praktek upah murah tetap dilakukan, siapa yang paling terkena imbasnya?, semuanya cuma satu jawaban, yakni ; PEREMPUAN.

Kaum perempuan seharunya memiliki kesadaran, bahwa segala persoalan yang tengah dihadapinya hanya bisa diselesaikan melalui gerakan politik. Melalui gerakan politiklah, maka segala kebijakan yang bersentuhan dengan masalah publik (baca: perempuan) dapat dibuat secara proporsional. Perempuan harus turut serta dalam setiap pengambilan kebijakan yang secara implisit bermakna, perempuan harus merubah tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui partisipasi dalam pembuatan kebijakan publik. Ada 3 (tiga) hal yang harus dilakukan kaum perempuan dalam upaya membangun partisipasi dlam konteks politik hari ini, yakni ; Pertama, kaum perempuan harus mampu mengorganisir diri mereka dalam wadah-wadah perjuangan, agar kelak dapat difungsikan sebagai alat penekan bagi siapapun yang membatasi ruang partisipasi kaum perempuan, termasuk pemerintah sendiri.

Kedua, kaum perempuan harus memahami bahwa prsoalan perempuan merupakan persoalan yang integral dengan kebijakan ekonomi dan politik, baik nasional maupun internasional. Untuk itu, diperlukan solidaritas perempuan secara internasional terutama kaum perempuan di Negara-negara dunia ketika yang memiliki persamaan nasib.

Ketiga, kaum perempuan harus memiliki musuh bersama, sebagai factor pemersatu sesame kaumnya. Hari ini, musuh sejati kaum perempuan adalah, “diri mereka sendiri yang dipenuhi dengan keraguan, ketakutan dan rasa tidak percaya diri yang sangat besar”. Untuk itu, kaum perempuan harus mampu mengatasi hal tersebut jika betuk-betul ingin memrdekakan kaumnya. Dengan cara inilah perempuan dapat menemukan kembali peran dan tanggung jawabnya untuk membebaskan kaumnya dari segala belenggu penindasan yang dialaminya.



DAFTAR TAMBAHAN

v Dasar Hukum (Aturan) pemberdayaan perempuan Indonesia :

ü UUD 1945 Pasal 28

ü UU No. 68 tahun 1956 ratifikasi Convention on the Political Rights of Women atau Konvensi PBB tentang Hak Politik Perempuan

ü UU No.7 tahun 1984 tentang (Ratifikasi CEDAW Convention ) CEDAW: Convention on Elimination All Forms of Discrimination Against Women/Konvensi Penghapusan Ssegala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan

ü UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

ü UU No.39 tahun 2004 Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja di Luar Negeri

ü UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan

ü Kepres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarus Utamaan Gender (Gender Mainstreaming) dalam segala kebijakan pemerintah

ü Kepres No. Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan

ü UU Pemilu No.32/2003 pasal 65 (1) saran mencalonkan perempuan 30% caleg partai

ü UU No.32 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

ü UU No. Perlindungan Saksi

ü UU No.12 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

ü UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang memberikan kesempatan keterwakilan 30% perempuan dalam anggota KPU di setiap tingkatan

ü UU No.2 tahun 2008 Pasal 20 Tentang Partai Politik yang mensyaratkan kepengurusan parpol paling rendah 30% keterwakilan perempuan ditingkat prov dan kab/kota

ü UU No.10 tahun 2008 Pasal 53 tentang Pemilu yangmemberikan kesempatan 30% keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon parpol

v Landasan Konsensus Internasional :

ü United Nation Convention on Politic Rights of Women, 1952.

ü United Nation Women Convention 1975 Nairobi.

ü CEDAW Convention.

ü Resolusi PBB No. 1355 tentang Kekerasan Perempuan dalam Perang.

ü Beijing Platform for Action, 12 Area Concerns.